Maukah Kau Menungguku ?

Profetik Learning:.Terdengar bunyi sms dari sebuah HP, isinya:

“Maukah kau menungguku ukhti???

Insya Allah satu tahun lagi Ana akan datang ke rumahmu untuk mengkhitbahmu”

Jantung Sang Ukhti seperti berhenti berdetak, darah berhenti mengalir, nafasnya naik turun (kaget apa bengek?). Mimpi apa semalam pikirnya sampai dapat sms seperti itu.


Kawan pernahkah kau mengalami hal itu??? (tentu tak harus mengalaminya tapi cukup ambil ibroh darinya)


Sebagai seorang ikhwan, Sang Akhi yang tak ingin kehilangan Sang Ukhti, sedangkan Sang Akhi mengetahui jika pacaran itu tak ada dalam Islam. Tapi begitu takutnya dia kehilangan Sang Ukhti. sehingga dia memberanikan diri untuk menanyakan itu. (wait.. what happen aya naon? Akhi Ukhti, kalian tahu syari’at..!)

Atau sebagai Sang Ukhti yang begitu kaget mendapat sms seperti itu. Tak tahu apa yang harus dilakukan, karena selama ini Sang Akhi terlihat biasa saja.

Tentu akan mudah saja menolak permintaan Sang Akhi jika Sang Ukhti ternyata tidak menyukai Sang Akhi. Tapi bagaimana jika ternyata Sang Ukhti juga menyukai Sang Akhi?

Tentu saja ini bisa menjadi dilema untuk Sang Ukhti, menunggu Sang Akhi yang memang juga dia sukai, atau menolaknya karena dia merasa ini tidak dibenarkan oleh Islam.

Sepertinya fenomena seperti ini mungkin-mungkin saja terjadi dikalangan para aktifis dakwah terlebih lagi yang bukan. Sudah ada keinginan untuk menikah tapi apa daya persiapan pun belum ada, belum mempunyai pekerjaan tetap atau masih terbentur dengan kuliah yang belum selesai.

Jika kita berbicara masalah pacaran, rata-rata semua orang sepakat dan mafhum kalau itu tidaklah ada dalam Islam, kecuali sama suami/istri sendiri. (Ya iyalah..)

Tapi bagaimana dengan mengikat janji untuk menikah???


Kawan, tahukah kau????

Ternyata yang seperti ini tak ada dalam Islam. Kenapa???

Karena jodoh itu adalah kuasa-Nya, Allah. Tak dibenarkan seseorang mengikat janji untuk menikah, jika belum mempunyai persiapan yang matang. Beda lagi kalau masalah khitbah.

Memang dibolehkan untuk mengutamakan diri sendiri tentang masalah jodoh dan jodoh itu bisa membuat kita semakin dekat dengan Allah seperti dalam novel Ketika Cinta Bertasbih hal. 349 karangan Habiburrahman el Shirazy, biar ngga jenuh penulis baca novel juga. Berikut kutipan perbincangan antara Anna dan Cut Mala.

“Maaf Kak saya mau tanya. Kalau misalnya. sekali lagi ini misalnya lho kak. Misalnya ada seorang gadis Muslimah, dilamar oleh seorang pemuda yang sangat baik. Baik agamanya, akhlaknya, prestasinya, juga wajahnya. Lalu ia mengalah, mengutamakan saudarinya yang menurutnya lebih baik darinya dan lebih pantas menikah dengan pemuda Muslim tadi. Apa ini termasuk makruh Kak?”

“Menurutmu menikah itu ibadah nggak Dik?” Tanya Anna

“Ibadah Kak. Bukankah menikah itu menyempurnakan separuh agama?”

“Jadi jelas kan jawabannya. Aku pribadi kalau menemukan pemuda yang baik, yang menurutku sungguh baik dan ada yang menjodohkan aku dengannya ya aku akan mengutamakan diriku dulu. Tidak akan aku tawarkan pada akhwat lain. Menikah kan ibadah. Cepat-cepat menikah kan juga bagian dari berlomba-lomba dalam kebaikan. Kalau aku itsar, mengutamakan akhwat lain, berarti aku akan kalah cepat. Akhwat itu akan menikah duluan, dapat jodoh duluan dan aku belum. Jadi tertunda. Dan, tambah lagi belum tentu aku akan dapat jodoh yang lebih baik dari itu. Meskipun jodoh ada yang mengaturnya yaitu Allah. Tapi kita kan harus ikhtiar. Di antaranya bentuk ikhtiar, ya, ketika menemukan yang baik tidak usah mengutamakan orang lain.”


Memang boleh, tidak mengutamakan orang lain. Tapi juga jangan karena takut tidak menikah dengannya lalu mengikat janji dengan dia, Sang pujaan hati.


Tahukah kawan????

Setiap orang mempunyai hati, hati tersebut akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya, Sang Pencipta, Allah.

Bisakah kita menjaga hati kita jika ternyata kita memikirkan seseorang yang belum halal untuk untuk kita?



Saudaraku ikhwan wa akhwat Fillah, sudah menjadi fitrah bagi manusia bahwa kita akan menyukai atau cenderung pada lawan jenis. Hal ini sudah jelas diterangkan oleh Allah dalam surah Ar Rum ayat 21 dan Ali Imron ayat 14. Namun perasaan tersebut tidak akan muncul jika tidak ada sebab yang mengakibatkan perasaan ini muncul ke permukaan.


Komunikasi yang intens akan cenderung menimbulkan rasa simpati pada kedua orang yang melakukannya. Rasa simpati dan kenyamanan inilah yang harus dihindari karena ia pertanda telah adanya “rasa nano-nano” yang belum saatnya hadir. Dari itu jelaslah kalau hubungan dan komunikasi yang terjalin di antara ikhwan akhwat non mahram memiliki potensi besar untuk menumbuhkan benih-benih simpati yang menjurus pada rasa “cintrong” sebelum waktunya.


Rasa simpati akan merangsang timbulnya rasa suka dan rasa suka akan merangsang timbulnya kenyamanan dan kenyamanan akan menjadi indikasi telah terkena “panah iblis” yang biasanya kita kenal dengan nama “cinta”. Cinta sebelum ia dihalalkan. Boleh saja kita mencintai seseorang kalau ia sudah halal (sudah menikah), karena cinta adalah fitrah. Namun, cinta pada orang yang belum berhak dicintai merupakan malapetaka yang harus dihindari dan harus dikikis kalau benihnya sudah mulai tumbuh. Kenapa dikatakan malapetaka, karena pada dasarnya rasa cinta ini merupakan manipulasi dari bisikan iblis yang cenderung akan membawa pelakunya kepada jurang kehancuran, membawa pelakunya untuk bermaksiat dan mencederai cintanya pada Allah.


Kalau memang tujuannya adalah untuk mencari pasangan itu sah-sah saja, namun kalau belum siap dan meminta untuk menunggu? Terlebih lagi jika dalam rentan waktu yang cukup lama, hal ini harus dihindari. Mungkin saja salah satu pihak berubah pikiran karena godaan atau halangan dari lingkungan. Misalnya, keluarga salah satu pihak berubah pikiran untuk melanjutkan pernikahan atau salah satu pihak ‘kepincut’ dengan orang lain. Berubah pikiran sehingga salah satu pihak tertentu akan menyakitkan bagi pihak lain. Lalu hubungan baik akan berubah menjadi hubungan yang tidak harmonis, bahkan kebencian. Mungkin saja hubungan komunikasi seperlunya lama kelaman berubah menjadi komunikasi yang tidak perlu (misalnya : omongan yang berlebih-lebihan untuk menanyakan kabar masing-masing, sms/telpon yang bernada kangen atau merayu, dll). Hati masing-masing menjadi sensitif dan sentimentil. Bayangan romantisme menjadi terlalu jauh, sehingga ujung-ujungnya terjadi perzinahan. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah. Bisa juga terjadi, akibat menunggu terlalu lama untuk menikah, maka kesungguhan hati dari kedua belah pihak menjadi lemah. Dan akhirnya salah satu pihak ingin menunda lagi dengan berbagai alasan. Mungkin dengan alasan yang berbeda, sehingga akhirnya menjadi kebiasaaan untuk menunda berulang-ulang. Padahal sejatinya tidak ada orang yang siap 100% untuk menikah.

Rasa yang timbul sebelum adanya pernikahan dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Rasa yang mekar sebelum waktunya akan menimbulkan permasalahan yang sangat pelik ketika ternyata bukan ia yang ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidup kita nantinya. Dalam kasus seperti ini, secara tidak langsung kita (kita? maksudnya yang merasa) telah mendzalimi pasangan kita nantinya. Hal ini disebabkan hati kita datang padanya dalam keadaan tidak perawan, tetapi telah pernah dimiliki orang lain. Apakah kita mau hati pasangan kita telah pernah terikat erat di hati orang lain? Ana rasa hampir semua orang akan menjawab tidak. (tidak nolak? ya tidak maulah..)


Yakinlah! Kalau memang ia yang dijodohkan untuk kita (kita? ya.. masing-masing dari kita), maka ia tidak akan kemana-mana. Selain itu, belum tentu ia merupakan orang terbaik yang akan dikirim Allah untuk kita. Mungkin saja akan datang pangeran berkuda putih atau bidadari kayangan yang jauh lebih baik di kemudian hari ketika kita sudah siap untuk menikah.

Tugas kita adalah mempersiapkan diri agar pantas untuk mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik nantinya, dia atau yang lain. Karena “Laki-laki baik-baik hanya untuk wanita baik-baik dan wanita baik-baik hanya untuk laki-laki baik baik” (An-Nur:26).


Islam telah mengatur hubungan wanita dan laki-laki dalam sebuah pernikahan. Hubungan khusus ikhwan akhwat bukan mahram sebelum terjadinya pernikahan apapun namanya merupakan hal yang diharamkan dalam Islam. Karena hal ini akan cenderung membawa pelakunya pada kemaksiatan kepada Allah. Hubungan yang dilakukan tersebut walau tidak diikrarkan tidak akan berbeda jauh dengan bentuk pacaran, HTS, HTI, TTM atau apapun juga namanya, jikalau komunikasi yang dilakukan didasarkan atas dasar rasa cinta satu sama lain. Untuk itu sudah seharus dan sebaiknya untuk membatasi hubungan dengan lawan jenis bila tidak ada hajat. Seandainya rasa itu telah ada, sebaiknya untuk sementara jangan berhubungan dengannya sampai waktu menikah telah tiba diluar kepentingan dan keperluan mendesak.


“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

Islam tidak melarang terlebih lagi mengharamkan CINTA, namun cinta yang bagaimana?

Rasa cinta kepada orang lain adalah sesuatu yang fitrah dimiliki oleh seorang manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang mulia. Begitu juga sebaliknya, ingin dicintai, ingin diperhatikan, ingin disayangi oleh orang lain, semua adalah suatu fitrah yang merupakan wujud dari gharizah an-na’u.

Gharizah atau naluri, merupakan ”sesuatu” yang diciptakan Allah dengan sangat unik. Ia adalah sebuah fitrah atau kebutuhan primer bagi manusia. Layaknya makanan kita sehari-hari. Namun ia berbeda dengan makanan, dimana jika kita tidak memenuhinya kita akan mati.

Na’am, tidak terpenuhinya gharizah atau naluri tidak akan membuat kita mati, ia hanya akan membuat manusia tersiksa ataupun tidak terpuaskan secara batin. Gelisah, tidak tentram, merasa ada yang kurang dalam hidup, itu adalah sebagian dari dampak tidak terpenuhinya naluri manusia. Bahkan pengekangan terhadap naluri, dapat membuat manusia melakukan ”penyimpangan”, agar ia tetap bisa memenuhinya

Naluri bertuhan (gharizah tadayyun) misalnya, secara fitrah manusia pasti memerlukan ”sesuatu” yang ia puja, ia agungkan, yang ia anggap lebih hebat, ia anggap sempurna, mampu melindungi dan menolongnya dikala terjepit. ”Sesuatu” tempat manusia bergantung padanya karena merasa dirinya adalah makhluk lemah dan terbatas. Untuk itulah manusia menyembah Tuhan. Untuk itulah manusia beragama. Komunis sekalipun yang notabane menolak keberadaan Tuhan, melakukan ”penyimpangan” dengan memuja tokohnya yang diibaratkan seperti dewa.

Begitu pula dengan gharizah an-na’u (naluri melestarikan jenis), dimana menjadi fitrah bagi manusia untuk tertarik pada lawan jenis, menyalurkan keinginan seksualnya, dan sejenisnya. Pengekangan terhadap naluri ini akan ”memaksa” manusia untuk melakukan penyimpangan.

Dengan demikian menjadi hal yang wajar jika tidak terpenuhinya naluri, akan membuat manusia melakukan penyimpangan. Sebab, naluri adalah fitrah bagi manusia. Dan manusia akan cenderung menyesuaikan diri dengan fitrahnya. Na’am, aturan dalam Islamlah yang sesuai seiring sejalan dengan fitrah manusia.

Tertarik pada lawan jenis (baca: jatuh cinta) adalah hal yang wajar terjadi pada manusia. Sebab

ia adalah bagian dari gharizah an-na’u. Ia bisa ”menular” pada laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, orang miskin maupun orang kaya, siapapun berpotensi terjangkit ”wabah” ini. Banyak sekali tanda-tanda atau gejala yang menunjukkan seseorang telah dinyatakan positif terkena wabah ini. Sering melamun, mendadak puitis atau romantis, bahkan hingga penampilan dan berkelakuan berbeda dari biasanya.

Jatuh cinta adalah wajar. Ia memang sesuatu yang abstrak dan sulit didefinisikan. Tapi siapapun yang telah merasakannya, entah kenapa ia akan menjadi seorang pujangga yang mampu menafsirkannya begitu mudahnya. Jatuh cinta juga tidak mengenal waktu dan keadaan. Ia bisa datang kapan saja, dimana saja bahkan dalam kondisi apapun. Love is like wind, we can’t see it but we can feel it. (yah, Ana bukan pujangga, jadi kata-kata ini pun diambil dari sumber lain)

Na’am, jatuh cinta atau tertarik pada lawan jenis adalah sesuatu yang tak bisa ditolak. Sehingga sangat tidak masuk akal dan tidak logis jika sesuatu yang fitrah ini dilarang hadir pada diri manusia.

Islam adalah agama yang sempurna. Islam sangat memahami hal ini. Bahwa cinta dan kasih sayang adalah sesuatu yang fitrah ada pada diri manusia yang merupakan karunia dari Allah:

”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum : 21)

Sehingga jelaslah sudah, bahwa Islam tidak melarang cinta dan kasih sayang. Islam tidak melarang seorang laki-laki tertarik pada perempuan, begitu juga sebaliknya. Ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sesuai fitrah manusia.

Islam hanya mengatur dan memuliakan manusia, bagaimana tata aturan dalam mencurahkan rasa cintanya itu. Pernahkah melihat kucing (yang ingin kawin)? Sang jantan akan coba mendekati betina, menunjukkan ”kegarangan”nya, kemudian tanpa ”permisi” langsung ”nyosor” gitu aja. Tidak peduli mereka sedang berada dimana. Di teras rumah orang, di warung, juga di jalan. Tidak peduli kucing betina siapa, kalau sudah suka maka sang kucing jantan tidak akan malu-malu lagi. Inilah dunia hewan. Dunia makhluk yang tidak mempunyai akal.

Kebayang kalau manusia yang seperti itu? Itulah salah satu alasan adanya agama Islam, manusia adalah makhluk yang terbatas. Ia tidak akan mengetahui apa yang baik bagi dirinya, dan apa yang buruk bagi dirinya. Oleh karenanya sudah menjadi fitrah bagi manusia bahwa ia memerlukan seperangkat aturan dari Dzat yang maha sempurna untuk mengatur kehidupannya. Maha suci Allah yang tidak membiarkan manusia terkatung-katung menjalani kehidupan. Betapa Maha pemurah dan penyayang Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak membiarkan manusia hidup liar tanpa aturan seperti hewan :

”Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raaf : 52) 

Sayangnya, kini aturan Allah itu telah dibuang dari kehidupan bermasyarakat. Aturan Allah hanya digunakan ketika mengatur permasalahan ibadah. Seperti tata cara shalat, tata cara berhaji, masalah kejujuran, dan sejenisnya. Sedangkan untuk tata cara mengemban negara, pendidikan, ekonomi, serta masalah sosial lainnya, Islam dibuang. Termasuk untuk mengatur masalah pergaulan..

Astaghfirullah, benarlah bahwasanya Islam diturunkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia. Islam diturunkan untuk mengatur manusia agar tidak hidup seperti hewan liar dan bebas tanpa aturan. Manusia adalah makhluk yang mulia juga berakal, dan Allah tidak membiarkan makhluk berakal ini hidup seperti makhluk tidak berakal. Bisa dibayangkan, bagaimana hewan tidak berakal seperti kambing jika diseru untuk hidup mulia dengan aturan Islam. Ia tidak akan pernah peduli, dan hanya akan menjawab, ”mbeeeeee…”. Oleh karenanya Allah sangat mengecam makhluk berakal seperti manusia yang tidak mau tunduk pada aturan-Nya, dengan sebutan lebih sesat dari pada hewan ternak ! Ya, hewan tidak punya akal untuk berfikir. Sedangkan manusia?

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raaf : 179)

Cinta dan kasih sayang adalah fitrah. Islam tidak melarang ataupun mengekang akan hal itu. Islam hanya mengatur serta menata sesuatu yang fitrah dan suci itu, sesuai kodrat manusia sebagai makhluk yang berakal dan mulia. Konsep aturan tersebut telah sangat rinci tertuang dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Sampai-sampai Rasulullah berpesan sebelum kepergian beliau, ”.. Pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian..”

Begitulah cinta yang di ajarkan Islam, Islam tidak sama sekali melarang cinta, namun islam melarang kita menodai cinta.

Salah satu wujudnya adalah aturan akan hubungan antar lawan jenis bukan nahram. Semua mungkin sudah mafhum, yang gambaran umumnya adalah menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan agar selalu sesuai koridor syari’at. Sebab hubungan yang halal hanya ada pada ikatan pernikahan. Jika mampu, maka laksanakanlah, dan jika masih belum mampu maka Rasulullah memerintahkan agar kita berpuasa. Terkadang kita ragu terhadap pernikahan bila tidak memastikan si dia yang dimintai untuk menunggu atau dimintai janji. Namun Islam menjawab keraguan ini dengan sangat lugas :

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (An-Nuur : 26)

Kini telah jelas, pilihan ada pada kita. Mau taat atau tidak pada aturan-Nya.

Untuk Sang Akhi Yang Sedang Menunggu Jawaban

Cukuplah menjadi pengagum rahasia (bahasa kerennya Secret Admirer). Sang Akhi yang akan selalu mendoakan yang terbaik untuk Sang Ukhti, yang hanya puas dengan memandang Sang Ukhti dari jauh saja, hanya puas hanya dengan melihat senyum Sang Ukhti. Tanpa berani untuk mengungkapkannya karena dia belum mempunyai persiapan yang matang. Karena dia tahu jika dia mengungkapkan niat itu sekarang itu malah akan mencelakakan Sang Ukhti karena akan membuat Sang Ukhti selalu teringat padanya.

Untuk Sang Ukhti Yang Sedang Bingung

Cukuplah kau berkata, jodoh ada ditangan Allah. Kalaulah kita berjodoh Allah pasti akan mempermudah langkahmu.

Untuk Sang Ukhti dan Sang Akhi yang sudah terlanjur

Segera putuskanlah perkara yang belum jelas itu. Karena sungguh hubungan antara pria dan wanita itu hanya ada sebagai teman atau pasangan hidup saja. Tak ada diantaranya. Jika memang saling mencintai, tentulah kalian menginginkan yang dicintai selamat dunia dan akhirat dan tidak menjerumuskan yang dicintainya pada perbuatan yang dilarang oleh Islam. Itulah makna cinta sejati, Menginginkan yang dicintainya selamat di dunia dan akhirat, bukan malah menjerumuskan pada perbuatan yang bisa mendatangkan dosa.

Percayakah kalian dengan janji Allah kawan????

"Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk yang keji pula dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji, sedangkan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang baik….” (QS.24:26)"

(Moga-moga ngga bosen ma terjemahan dari ayat Al-qur’an diatas yang diulang-ulang)

Apabila dua orang telah digariskan untuk dapat hidup bersama, maka sejauh apapun mereka, sebanyak apapun rintangan yang menghalangi, sebesar apapun beda diantara mereka, sekuat apapun usaha dua orang tersebut maupun orang lain untuk menghindarkan dan menjauhkannya, meski mereka tidak pernah berkomunikasi sebelumnya, meski mereka sama sekali tidak pernah membayangkan sebelumnya, meski mereka tidak pernah saling bertegur sapa, Pasti! tetap saja mereka akan bersatu. Seakan ada magnet yang menarik mereka, akan ada hal yang datang untuk menyatukan mereka berdua, akan ada suatu kejadian, yang membuat mereka saling mendekat dan akhirnya bersatu

Namun, apabila dua orang telah ditetapkan untuk tidak berjodoh, maka sebesar apapun usaha mereka untuk saling mendekat seperti ikhwan yang meminta sang akhwat menunggu, sekeras apapun upaya mereka dan orang-orang disekitar mereka untuk menyatukannya, sekuat apapun perasaan yang ada diantara mereka berdua, sebanyak apapun komunikasi diantara mereka sebelumnya, sedekat apapun. Pasti pula! akan ada hal yang membuat mereka akhirnya saling menjauh, ada hal yang membuat mereka saling merasa tidak cocok, ada hal yang membuat mereka saling menyadari bahwa memang bukan dia yang terbaik, ada kejadian yang menghalangi mereka untuk bersatu, bahkan ketika mereka mungkin telah menetapkan tanggal pernikahan

Hal yang perlu dicatat disini adalah:

Yakinlah bahwa yang diberikan oleh Allah

Yakinlah bahwa yang digariskan oleh Allah

Yakinlah bahwa yang telah ditulis oleh Allah dalam KitabNya

Adalah yang terbaik untuk kita

Adalah yang paling sesuai untuk kita

Adalah yang paling membuat kita merasa bahagia,,,,

karena Dialah yang paling mengerti kita lebih dari kita sendiri

Dialah yang paling menyayangi kita

Dialah yang paling mengetahui apa-apa yang terbaik untuk kita

sementara kita hanya sedikit saja mengetahuinya dan itupun hanya berdasarkan pada persangkaan kita

Dan yang perlu kita catat juga adalah jika kita tidak mendapatkan suatu hal yang kita inginkan itu bukan berarti bahwa kita tidak pantas untuk mendapatkannya, namun justru sebaliknya, bahwa kita pantas, kita pantas mendapatkan yang lebih baik dari hal tersebut, kita pantas mendapatkan yang lebih baik, ikhwan wa akhwat Fillah, lebih baik, na’am, lebih baik, yakinlah!

meskipun saat ini mata manusia kita tidak memahaminya, meskipun saat itu, perasaan kita memandangnya dengan sebelah mata, meskipun saat itu, otak kita melihatnya sebagai sesuatu yang buruk.

Tidak! jangan terburu-buru memvonis bahwa kita telah diberikan sesuatu yang buruk, bahwa kita tidak pantas, karena kelak, akan kita sadari, akan disadari perlahan, bahwa apa yang telah hilang darimu, bahwa apa yang tidak didapatkan, bukanlah yang terbaik untukmu, bukanlah yang pantas untukmu, bukanlah sesuatu yang baik untukmu

Karena itu, Ikhwan wa Akhwat Fillah, jangan mubadzirkan tenagamu, waktumu, perasaanmu, air matamu, jangan kau umbar semua perasaan cintamu ketika engkau mencoba menjalin proses ta’aruf, jangan kau umbar semua kekuranganmu, jangan kau ceritakan semuanya, jangan kau terlalu ngotot ingin dengannya, jika engkau mencintainya, karena belum tentu dia adalah jodohmu, pun jangan takut bila ternyata kalian tidak merasa cocok, karena Allah telah menetapkan yang terbaik untuk kita. Terimalah apapun ketentuan yang diberikan Allah kepada kita dengan hati yang ikhlas, sabar dan tetap tawakal. Selalu berpikir positif tentang ketentuan-Nya, karena Allah memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan, semua terjadi sesuai dengan waktu yang dikehendaki-Nya bukan sesuai dengan waktu yang kita inginkan.

Maka, sudah seharusnya kita memohon pada-Nya, meminta pada-Nya diberikan petunjuk, dan dijauhkan dari segala godaan yang ada, karena cinta sebelum pernikahan pada hakekatnya adalah sebuah cobaan yang berat.

Mungkin akan menjadi sebuah ketakutan tersendiri karena hanya memiliki sedikit saja atau bahkan tidak memiliki teman lawan jenis. Kemudian merasa khawatir dan merasa iri melihat teman-teman lain yang memiliki banyak teman lawan jenis yang menyenangi, menyukai mencintai banyak yang melamar dan dilamar serta banyak yang menginginkannya?

Mungkin pernah terlintas rasa iri tersebut di hati atau sekedar ungkapan “hmm…enak ya..kamu… punya banyak temen laki-laki…. punya banyak temen wanita….” “hmm..kamu sih enak…banyak yang mau…tinggal milih…?”
Ikhwan wa Akhwat Fillah, ketahui dan percayalah semua itu tidak ada kaitannya dengan banyak sedikitnya kenalan banyak sedikitnya teman lawan jenis, sama sekali tidak karena jika wanita yang terjaga maka Allahlah yang akan mengirimkan pendamping untuknya, karena wanita yang terjaga adalah wanita yang banyak didamba oleh seorang ikhwan sejati dan begitu pun sebaliknya. Jadi, jagalah dirimu, hatimu, kehormatanmu, sebelum saatnya tiba.

Nah, untuk para akhwat, jika datang kepadamu laki-laki baik-baik yang melamarmu, maka bisa jadi dialah pangeranmu.

Kemudian ikhwan, jika gadis pujaanmu telah dikhitbah laki-laki lain, maka ikhlaskanlah. Bisa jadi dia bukanlah bidadarimu.

Janji Allah tak pernah ingkar. Selalu dan selalu ditepati-Nya. Kalau yakin akan janji orang tua, saudara, sahabat, maka layakkah kita ragu pada-Nya?

Maka jika nantinya seseorang yang menjadi pujaan hati tidak berjodoh dengan kita, cukuplah menjadi seorang kawan yang akan bahagia jika melihat kawannya bahagia juga, mungkin dia tak cukup baik untukmu, pasti ada yang lain yang lebih baik untukmu. Dan yakinlah, jika memang dia adalah pasangan dari tulang rusukmu, maka tanpa dimintai untuk menunggu pun, Insya Allah, dia akan tetap menjadi pendampingmu.

Percayalah, Allah telah menciptakan seseorang yang khusus Dia ciptakan untukmu. Dia adalah yang terbaik diantara yang baik.

Karena harus kita yakini TULANG RUSUK TAKKAN TERTUKAR

Belajar dari sejarah Fatimah Az zahra' dan Ali bin Abi Thalib. Walau mungkin tak sesempurna shababat dan shahabiyah ini, tapi menjadikan tuntunan seperti apa dan bagaimana menjaga hati.

Begitu lama Fatimah menyimpan cintanya kepada Ali karena ingin menjaga hatinya. Semua lamaran khalifah besar dan sahabat terdekat ayahnya yaitu Baginda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditolak dan menunggu lamaran dari Ali, anak angkat ayahnya.

Dengan CINTA dan HARAP... Maka akhirnya cinta itu berbuah juga, Ali dengan gagahnya melamar Fatimah, puteri kesanyangan Rasulullah. Begitu suci Fatimah menjaga cintanya sehingga membuat Ali karamullahu wajhah berani untuk maju melamar Fatimah.

Begitu pun Ikhwan Langka Bernama Ali, Ikhwan itu sama dengan laki-laki lainnya. Rutin berinteraksi dengan akhwat ayu, daiyah populer dari keluarga terpandang, dan sekalipun tarbiyah bukan hanya sepekan sekali menerpa, namun dia masih manusia. Perasaan itupun muncul tanpa diminta.

Namun ia tahu posisi dirinya. Ia tahu mana batasnya. Cinta platonisnya disimpan rapat-rapat. Jangankan untuk ‘nembak’ si akhwat, apalagi mengetikkan status di wall FB kalau di zaman itu ada, untuk mengekspresikan pun ia bertahan. Bertahan. Tak sesiapapun tahu gelisah hatinya.

Menjaga kemuliaan diri dan juga kemuliaan si akhwat.


Apalagi, mimpi memperistri sang akhwat kian memudar ketika tiba seseorang dengan segalanya dengan keshalihan, kekayaan, kemasyhuran dengan tujuan yang juga lama diidamkannya yaitu mengkhitbah akhwat pujaan. Dialah Abu Bakar ash-Shiddiq.

Seseorang itu punya begitu banyak keutamaan. Tak mungkin sang akhwat menolaknya. Gundahnya kian membulat.

Namun tak diduga, langit hatinya kembali cerah. Lamaran pria masyhur itu ditolak.

Waktu merambat dengan keteguhan menjaga kemuliaan diri. Namun seseorang kembali datang, justru ketika ia tengah mengumpulkan segenap alasan dan keberanian untuk hadir menjumpai orangtua si akhwat.

Pengkhitbah kali kedua ini pria gagah. Maisyah juga tak masalah. Disegani kawan maupun lawan atas kiprahnya di medan dakwah.

Ali, ikhwan yang teguh menggenggam marwah, kembali menunduk. Tak mungkin sang akhwat pujaan kali ini menolak pengkhitbah nan gagah. Cinta tak terucap itu lagi-lagi harus dikubur dalam-dalam. Namun berita yang sama kembali bagai petir di siang bolong. Pria kedua, Umar bin Khattab pun ditolak.

Skenario Allah berlaku. Ya, Allah takdirkan Ali berjodoh dengan akhwat pujaan hatinya. Mereka menikah. Dia baru berani mengatakan cinta kepada Fathimah, setelah menikah. Ali, pemuda kesayangan Rasul, tetap menunggu waktu bertahun-tahun untuk mengatakan cinta. Bukan karena dia pengecut tentu saja justru karena dia adalah laki-laki kualitas surga.

Happy ending? Pemuda bersahaja itu menemukan jawaban doanya. Tapi cerita belum selesai sampai di sini. Suatu malam, istri cantiknya itu menyampaikan sebuah rahasia yang mengejutkannya. “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda.”

Ali terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? Dan siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum istrinya berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu.”

Maha Suci Allah. Cinta platonis seorang ikhwan dan seorang akhwat. Kedua cinta tak terekspresikan. Tak terkatakan. Padahal situasi dan tuntutan dakwah membuat aktivitas mereka sering bertumbukan. Peluang untuk memberi sinyal ketertarikan atau sekedar perhatian nan ‘wajar’ tumbuh di sini dan di sana, bila mereka mau.

Namun pilihan menabrak mainstream-lah yang mereka ambil.

Dan keduanya menyimpan perasaan itu rapat-rapat hingga ijab qabul-lah yang menjadi pembuka hijab.

Cinta platonis berakhir romantis antara ikhwan aktivis bernama Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah dan akhwat daiyah bernama Fatimah Az-Zahra binti Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Yang paling penting, kisah mereka, Allah hadirkan tentu bukan tanpa alasan.

Dari sini kita tahu, Ikhwan dan Akhwat Sejati tak hanya khawatir terkena fitnah tetapi juga takut dirinyalah yang menjadi fitnah bagi lawan jenisnya dan sangat menjaga hati serta pergaulannya dengan lawan jenis, karena ia tahu luasnya ILMU yang dimiliki tidak akan menjadikannya mulia, jika tidak diimbangi dengan menjaga adab PERGAULAN dengan lawan jenis yang sesuai dengan aturan syari’at.

Maukah menunggu setelah kita siap? Bukan meminta seseorang menunggu sampai kita siap! Disinilah salah satu pertanda yang menunjukkan bagaimana seseorang dalam menjaga hati dan pergaulannya terhadap lawan jenis. Bukankah akan lebih indah bila bertemu dengan jalan yang diberkahi-Nya? Bukankah lebih membahagiakan bila dipertemukan dalam kondisi lebih siap yang tentu saja diridhoi-Nya?

Boleh jadi dia yang bercelana bahan “cingkrang” walau tidak kebanjiran, bersepatu sandal atau pantofel, menyandang ransel. Sepintas penampilannya dewasa banget apa malah seperti bapak-bapak, padahal umurnya lebih muda dari penampilannya atau coba melihat ke bagian atas sedikit, ada jenggot tipis seperti kumpulan semut hitam walau tidak berhidung mancung seperti orang arab (maklum ras asia), atau juga mereka yang berbaju koko atau kemeja formil dan suka menundukkan pandangan saat berjalan di tempat umum (walau kadang sering tidak sengaja nabrak rambu-rambu jalan tapi tidak melanggar rambu syari’at). Pelengkapnya, kemana-mana kerap membawa Qur’an kecil di saku atau ranselnya. Yang tak pernah absen untuk istiqomah ke masjid karena tahu bahwa tempat sholat yang 5 waktu bagi seorang ikhwan adalah di mesjid, bukan di rumah, malah tak jarang menjadi muadzin bahkan imam mesjid. Yang di sepertiga malamnya ia habiskan untuk sholat malam, berkhalwat dengan "Kekasih Sejati"nya. Yang agenda utamanya Jihad Fisabilillah dan berjuang mencari nafkah hanya dengan rizki yang halal adalah calon pendampingmu yang wanted banget.

Dan tak ketinggalan pula, dia yang tidak mengenal yang namanya pacaran, tetapi hanya mengenal ta'aruf untuk pernikahan, tidak mengenal dunia malam yang sebelum maghrib ia telah pulang kerumah demi menjaga kehormatan dirinya dari fitnah, tidak keluar rumah kecuali ada urusan yang sangat penting, tidak mementingkan kepentingan duniawi, seperti berdandan yang berlebihan, memakai minyak wangi yang berlebihan, ridho dengan ketentuan Allah yang mengharuskannya ‘ribet’ dengan memakai pakaian yang tidak menunjukkan bentuk lekuk tubuhnya, pakaian longgar, menutup seluruh tubuh yang hanya menampakkan muka dan telapak tangannya, berjilbab lebar dan tebal tidak tembus pandang dengan warna kalem agar tidak mencolok mata yang memandangnya plus ‘perlengkapan perang’ pelapis jilbab, manset mulai dari tangan hingga gamisnya, kaos kaki dan bahkan ada yang memakai cadar dengan niqab, yang belum pernah bersentuhan kulit dengan laki-laki ajnabi, yang tak rela sehelai saja rambutnya menyembul keluar dari balik hijabnya sehingga terlihat laki-laki ajnabi, yang merasa risih jubah bagian bawahnya sedikit saja tersingkap karena tak terlindungi celana pelapis rok atau gamisnya bagian dalam saat menstarter sepeda motornya lagi-lagi karena takut akan terlihat laki-laki ajnabi, yang merasa berdosa bila kaos kakinya belum sempat dikenakan sehabis berwudhu sekali lagi karena takut terlihat laki-laki ajnabi, selalu berhati-hati dalam bergaul, bertutur katanya sopan serta tak mau membicarakan orang lain karena takut menjadi ghibah dan sangat mempunyai etika, dia yang tak ingin wajahnya menjadi fitnah sehingga tak semudah itu difoto dan dimintai foto serta tak sembarangan pula 'mengobral' fotonya dengan alasan menjauhi perkara syubhat, maka tak perlu lagi ditanya bagaimana sikapnya terhadap perkara yang haram, kalau bertemu lawan jenis seolah melihat musuh,kalau bisa tidak berpapasan dengan menjauh kemudian menunduk (bahasa lain gadhul bashor) dan kalau bicara dengan nada bicara yang tegas bukan karena galak atau bukan sosok yang lembut tapi karena ia menjaga suaranya yang dapat menjadi penyakit hati bagi lawan jenisnya.
Mau? Berusahalah memenuhi kriteria diatas, Bismillah..!!!
By rini Khoirony


Description: Maukah Kau Menungguku ? Rating: 4.5 Reviewer: Admin Pembelajar ItemReviewed: Maukah Kau Menungguku ?
Posted by:Mbah Qopet
Admin Pembelajar Updated at: 23:39

0 comments

Post a Comment