Oleh: KH Rahmat Abdullah
Allah SWT berfirman di
dalam Al-Qur’an Surat 19 Ayat 12 : Ya Yahya hudzil kitaaba bi quwwah ..”.
Tatkala Allah SWT
memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, Ia tak hanya menyuruh
mereka untuk taat melaksanakannya melainkan juga harus mengambilnya dengan
quwwah yang bermakna jiddiyah, kesungguhan-sungguhan.
Sejarah telah diwarnai,
dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh
orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan
dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan
mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad.
Namun kebatilan pun
dibela dengan sungguh-sungguh oleh para pendukungnya, oleh karena itulah Ali
bin Abi Thalib ra menyatakan : “Al-haq yang tidak ditata dengan baik akan
dikalahkan oleh Al-bathil yang tertata dengan baik”.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah,
Allah memberikan ganjaran
yang sebesar-besarnya dan derajat yang setinggi-tingginya bagi mereka yang
sabar dan lulus dalam ujian kehidupan di jalan dakwah. Jika ujian, cobaan yang
diberikan Allah hanya yang mudah-mudah saja tentu mereka tidak akan memperoleh
ganjaran yang hebat.
Di situlah letak
hikmahnya yakni bahwa seorang da’i harus sungguh-sungguh dan sabar dalam meniti
jalan dakwah ini. Perjuangan ini tidak bisa dijalani dengan ketidaksungguhan,
azam yang lemah dan pengorbanan yang sedikit.
Ali sempat mengeluh
ketika melihat semangat juang pasukannya mulai melemah, sementara para
pemberontak sudah demikian destruktif, berbuat dan berlaku seenak-enaknya. Para
pengikut Ali saat itu malah menjadi ragu-ragu dan gamang, sehingga Ali perlu
mengingatkan mereka dengan kalimatnya yang terkenal tersebut.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah,
Ketika Allah menyuruh
Nabi Musa as mengikuti petunjuk-Nya, tersirat di dalamnya sebuah pesan abadi,
pelajaran yang mahal dan kesan yang mendalam: “Dan telah Kami tuliskan untuk
Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi
segala sesuatu; maka (Kami berfirman): “Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan
suruhlah kaummu berpegang teguh kepada perintah-perintahnya dengan sebaik-baiknya,
nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasiq”.(QS.
Al-A’raaf (7):145)
Demikian juga
perintah-Nya terhadap Yahya, dalam surat Maryam ayat 12: “Hudzil kitaab bi
quwwah” (Ambil kitab ini dengan quwwah). Yahya juga diperintahkan oleh Allah
untuk mengemban amanah-Nya dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan). Jiddiyah ini
juga nampak pada diri Ulul Azmi (lima orang Nabi yakni Nuh, Ibrahim, Musa, Isa,
Muhammad yang dianggap memiliki azam terkuat).
Dakwah berkembang di
tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah
pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia
para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita,
semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka.
Apa artinya usia panjang
namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris
kata yang dipahatkan di nisan kita : “Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian,
wafat tanggal sekian-sekian”.
Hendaknya kita melihat
bagaimana kisah kehidupan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Usia mereka hanya
sekitar 60-an tahun. Satu rentang usia yang tidak terlalu panjang, namun
sejarah mereka seakan tidak pernah habis-habisnya dikaji dari berbagai segi dan
sudut pandang. Misalnya dari segi strategi militernya, dari visi
kenegarawanannya, dari segi sosok kebapakannya dan lain sebagainya.
Seharusnyalah kisah-kisah
tersebut menjadi ibrah bagi kita dan semakin meneguhkan hati kita. Seperti
digambarkan dalam QS. 11:120, orang-orang yang beristiqomah di jalan Allah akan
mendapatkan buah yang pasti berupa keteguhan hati. Bila kita tidak kunjung
dapat menarik ibrah dan tidak semakin bertambah teguh, besar kemungkinannya ada
yang salah dalam diri kita. Seringkali kurangnya jiddiyah (kesungguh-sungguhan)
dalam diri kita membuat kita mudah berkata hal-hal yang membatalkan keteladanan
mereka atas diri kita. Misalnya: “Ah itu kan Nabi, kita bukan Nabi. Ah itu kan
istri Nabi, kita kan bukan istri Nabi”. Padahal memang tanpa jiddiyah sulit
bagi kita untuk menarik ibrah dari keteladanan para Nabi, Rasul dan
pengikut-pengikutnya.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah,
Di antara sekian jenis
kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam, tekad dan
bukannya kemiskinan harta.
Misalnya anak yang
mendapatkan warisan berlimpah dari orangtuanya dan kemudian dihabiskannya untuk
berfoya-foya karena merasa semua itu didapatkannya dengan mudah, bukan dari
tetes keringatnya sendiri.
Boleh jadi dengan
kemiskinan azam yang ada padanya akan membawanya pula pada kebangkrutan dari
segi harta. Sebaliknya anak yang lahir di keluarga sederhana, namun memiliki
azam dan kemauan yang kuat kelak akan menjadi orang yang berilmu, kaya dan
seterusnya.
Demikian pula dalam
kaitannya dengan masalah ukhrawi berupa ketinggian derajat di sisi Allah. Tidak
mungkin seseorang bisa keluar dari kejahiliyahan dan memperoleh derajat tinggi
di sisi Allah tanpa tekad, kemauan dan kerja keras.
Kita dapat melihatnya
dalam kisah Nabi Musa as. Kita melihat bagaimana kesabaran, keuletan,
ketangguhan dan kedekatan hubungannya dengan Allah membuat Nabi Musa as
berhasil membawa umatnya terbebas dari belenggu tirani dan kejahatan Fir’aun.
Berkat do’a Nabi Musa as
dan pertolongan Allah melalui cara penyelamatan yang spektakuler, selamatlah
Nabi Musa dan para pengikutnya menyeberangi Laut Merah yang dengan izin Allah
terbelah menyerupai jalan dan tenggelamlah Fir’aun beserta bala tentaranya.
Namun apa yang terjadi?
Sesampainya di seberang dan melihat suatu kaum yang tengah menyembah berhala,
mereka malah meminta dibuatkan berhala yang serupa untuk disembah. Padahal
sewajarnya mereka yang telah lama menderita di bawah kezaliman Fir’aun dan
kemudian diselamatkan Allah, tentunya merasa sangat bersyukur kepada Allah dan
berusaha mengabdi kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Kurangnya iman, pemahaman
dan kesungguh-sungguhan membuat mereka terjerumus kepada kejahiliyahan.
Sekali lagi marilah kita
menengok kekayaan sejarah dan mencoba bercermin pada sejarah. Kembali kita akan
menarik ibrah dari kisah Nabi Musa as dan kaumnya.
Dalam QS. Al-Maidah (5)
ayat 20-26 :
“Dan (ingatlah) ketika
Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu, ketika
Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka
dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada
seorangpun di antara umat-umat yang lain”.
“Hai, kaumku, masuklah ke
tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu
lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang
yang merugi”.
“Mereka berkata: “Hai
Musa, sesungguhnya dalam negri itu ada orang-orang yang gagah perkasa,
sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari
negri itu. Jika mereka keluar dari negri itu, pasti kami akan memasukinya”.
“Berkatalah dua orang di
antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat
atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka
bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
“Mereka berkata: “Hai
Musa kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada
di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu
berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.
“Berkata Musa: “Ya
Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu
pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasiq itu”.
“Allah berfirman: “(Jika
demikian), maka sesungguhnya negri itu diharamkan atas mereka selama empat
puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi
(padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib)
orang-orang yang fasiq itu”.
Rangkaian ayat-ayat
tersebut memberikan pelajaran yang mahal dan sangat berharga bagi kita, yakni
bahwa manusia adalah anak lingkungannya. Ia juga makhluk kebiasaan yang sangat
terpengaruh oleh lingkungannya dan perubahan besar baru akan terjadi jika
mereka mau berusaha seperti tertera dalam QS. Ar-Ra’du (13):11, “Sesungguhnya
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka berusaha merubahnya
sendiri”.
Nabi Musa as adalah
pemimpin yang dipilihkan Allah untuk mereka, seharusnyalah mereka tsiqqah pada
Nabi Musa. Apalagi telah terbukti ketika mereka berputus asa dari pengejaran
dan pengepungan Fir’aun beserta bala tentaranya yang terkenal ganas, Allah SWT
berkenan mengijabahi do’a dan keyakinan Nabi Musa as sehingga menjawab segala kecemasan,
keraguan dan kegalauan mereka seperti tercantum dalam QS. Asy-Syu’ara
(26):61-62, “Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa
menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku bersamaku,
kelak Dia pasti akan memberi petunjuk kepadaku”.
Semestinya kaum Nabi Musa
melihat dan mau menarik ibrah (pelajaran) bahwa apa-apa yang diridhai Allah
pasti akan dimudahkan oleh Allah dan mendapatkan keberhasilan karena jaminan
kesuksesan yang diberikan Allah pada orang-orang beriman. Allah pasti akan
bersama al-haq dan para pendukung kebenaran. Namun kaum Nabi Musa hanya melihat
laut, musuh dan kesulitan-kesulitan tanpa adanya tekad untuk mengatasi semua itu
sambil di sisi lain bermimpi tentang kesuksesan. Hal itu sungguh merupakan
opium, candu yang berbahaya.
Mereka menginginkan hasil
tanpa kerja keras dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah “qaumun jabbarun” yang
rendah, santai dan materialistik. Seharusnya mereka melihat bagaimana kesudahan
nasib Fir’aun yang dikaramkan Allah di laut Merah.
Seandainya mereka yakin
akan pertolongan Allah dan yakin akan dimenangkan Allah, mereka tentu tsiqqah
pada kepemimpinan Nabi Musa dan yakin pula bahwa mereka dijamin Allah akan
memasuki Palestina dengan selamat. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam QS.
47:7, “In tanshurullah yanshurkum wayutsabbit bihil aqdaam” (Jika engkau
menolong Allah, Allah akan menolongmu dan meneguhkan pendirianmu).
Hendaknya jangan sampai
kita seperti Bani Israil yang bukannya tsiqqah dan taat kepada Nabi-Nya, mereka
dengan segala kedegilannya malah menyuruh Nabi Musa as untuk berjuang sendiri.
“Pergilah engkau dengan Tuhanmu”. Hal itu sungguh merupakan kerendahan akhlak
dan militansi, sehingga Allah mengharamkan bagi mereka untuk memasuki negri
itu. Maka selama 40 tahun mereka berputar-putar tanpa pernah bisa memasuki
negri itu.
Namun demikian, Allah
yang Rahman dan Rahim tetap memberi mereka rizqi berupa ghomama, manna dan
salwa, padahal mereka dalam kondisi sedang dihukum.
Tetapi tetap saja
kedegilan mereka tampak dengan nyata ketika dengan tidak tahu dirinya mereka
mengatakan kepada Nabi Musa tidak tahan bila hanya mendapat satu jenis makanan.
Orientasi keduniawian
yang begitu dominan pada diri mereka membuat mereka begitu kurang ajar dan
tidak beradab dalam bersikap terhadap pemimpin. Mereka berkata: “Ud’uulanaa
robbaka” (Mintakan bagi kami pada Tuhanmu). Seyogyanya mereka berkata:
“Pimpinlah kami untuk berdo’a pada Tuhan kita”.
Kebodohan seperti itu pun
kini sudah mentradisi di masyarakat. Banyak keluarga yang berstatus Muslim,
tidak pernah ke masjid tapi mampu membayar sehingga banyak orang di masjid yang
menyalatkan jenazah salah seorang keluarga mereka, sementara mereka duduk-duduk
atau berdiri menonton saja.
Rasulullah saw memang
telah memberikan nubuwat atau prediksi beliau: “Kelak kalian pasti akan
mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian selangkah demi selangkah,
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta dan sedepa demi sedepa”. Sahabat
bertanya: “Yahudi dan Nasrani ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi?”.
Kebodohan dalam
meneladani Rasulullah juga bisa terjadi di kalangan para pemikul dakwah sebagai
warasatul anbiya (pewaris nabi).
Mereka mengambil
keteladanan dari beliau secara tidak tepat. Banyak ulama atau kiai yang suka
disambut, dielu-elukan dan dilayani padahal Rasulullah tidak suka dilayani,
dielu-elukan apalagi didewakan. Sebaliknya mereka enggan untuk mewarisi
kepahitan, pengorbanan dan perjuangan Rasulullah. Hal itu menunjukkan
merosotnya militansi di kalangan ulama-ulama amilin.
Mengapa hal itu juga
terjadi di kalangan ulama, orang-orang yang notabene sudah sangat faham. Hal
itu kiranya lebih disebabkan adanya pergeseran dalam hal cinta dan loyalitas,
cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya telah digantikan dengan cinta
kepada dunia.
Mentalitas Bal’am, ulama
di zaman Fir’aun adalah mentalitas anjing sebagaimana digambarkan di Al-Qur’an.
Dihalau dia menjulurkan lidah, didiamkan pun tetap menjulurkan lidah. Bal’am
bukannya memihak pada Musa, malah memihak pada Fir’aun. Karena ia menyimpang
dari jalur kebenaran, maka ia selalu dibayang-bayangi, didampingi syaithan.
Ulama jenis Bal’am tidak mau berpihak dan menyuarakan kebenaran karena lebih suka
menuruti hawa nafsu dan tarikan-tarikan duniawi yang rendah.
Kader yang tulus dan
bersemangat tinggi pasti akan memiliki wawasan berfikir yang luas dan mulia.
Misalnya, manusia yang memang memiliki akal akan bisa mengerti tentang
berharganya cincin berlian, mereka mau berkelahi untuk memperebutkannya. Tetapi
anjing yang ada di dekat cincin berlian tidak akan pernah bisa mengapresiasi
cincin berlian.
Ia baru akan berlari
mengejar tulang, lalu mencari tempat untuk memuaskan kerakusannya. Sampailah
anjing tersebut di tepi telaga yang bening dan ia serasa melihat musuh di
permukaan telaga yang dianggapnya akan merebut tulang darinya. Karena
kebodohannya ia tak tahu bahwa itu adalah bayangan dirinya. Ia menerkam
bayangan dirinya tersebut di telaga, hingga ia tenggelam dan mati.
Kebahagiaan sejati akan
diperoleh manusia bila ia tidak bertumpu pada sesuatu yang fana dan rapuh, dan
sebaliknya justru berorientasi pada keabadian.
Nabi Yusuf as sebuah
contoh keistiqomahan, ia memilih di penjara daripada harus menuruti hawa nafsu
rendah manusia. Ia yang benar di penjara, sementara yang salah malah bebas.
Ada satu hal lagi yang
bisa kita petik dari kisah Nabi Yusuf as. Wanita-wanita yang mempergunjingkan
Zulaikha diundang ke istana untuk melihat Nabi Yusuf. Mereka mengiris-iris
jari-jari tangan mereka karena terpesona melihat Nabi Yusuf. “Demi Allah, ini
pasti bukan manusia”. Kekaguman dan keterpesonaan mereka pada seraut wajah
tampan milik Nabi Yusuf membuat mereka tidak merasakan sakitnya teriris-iris.
Hal yang demikian bisa
pula terjadi pada orang-orang yang punya cita-cita mulia ingin bersama para
nabi dan rasul, shidiqin, syuhada dan shalihin. Mereka tentunya akan sanggup
melupakan sakitnya penderitaan dan kepahitan perjuangan karena keterpesonaan
mereka pada surga dengan segala kenikmatannya yang dijanjikan.
Itulah ibrah yang harus
dijadikan pusat perhatian para da’i. Apalagi berkurban di jalan Allah adalah
sekedar mengembalikan sesuatu yang berasal dari Allah jua. Kadang kita berat
berinfaq, padahal harta kita dari-Nya. Kita terlalu perhitungan dengan tenaga
dan waktu untuk berbuat sesuatu di jalan Allah padahal semua yang kita miliki
berupa ilmu dan kemuliaan keseluruhannya juga berasal dari Allah.
Semoga kita terhindar
dari penyimpangan-penyimpangan seperti itu dan tetap memiliki jiddiyah,
militansi untuk senantiasa berjuang di jalan-Nya. Amin.
Wallahu a’lam bis shawab.
Description: Militansi
Rating: 4.5
Reviewer: Pak Sam
ItemReviewed: Militansi
Posted by:Mbah Qopet
Admin Pembelajar Updated at: 11:36
0 comments
Post a Comment